Tantangan #Fiksi Odop Bacth 4 Pekan ke II "Dinda"

Angin menggiring awan yang kelam hingga turun hujan tepat di hatiku. Senyummu masih terlukis jelas meski sesekali Aku menangkap mata sayu itu. Kamu berhenti bicara dan mematikan rasamu. Lalu bagaimana dengan Aku, cinta, dan hidupku?

Pagi ini Aku terbangun dari tidur sementara bunga tidur itu layu. Aku belum mau bangun sekarang, aku ingin bunga tidurku selalu segar dan tegar. Bunga tidurku adalah kamu, mimpiku adalah kamu, setiap malam meski purnama tak bersinar selalu ada kamu yang berpijar. Tapi matahari pagi ini menggangguku, menggangu cerita yang sedang kulakoni bersamamu, "Dindaaaaaaa," Aku berteriak, histeris. Disampingku ibu terisak.

"Dinda, Bu. Dinda." Aku menangis seperti hilang semua sisi lelakiku.
"Cukup Nak, cukup." Ibu menahan tubuhku yang terus meronta memanggil Dinda.

Ayah terpaksa menamparku karena aku tak bisa mengendalikan diri, tubuhku lemas, tak berdaya sejak kejadian hari itu. Hilang semua selera yang ada di diriku, termasuk selera untuk makan. Aku hanya makan sesuap nasi sejak semalam, itu-pun karena ibu terus memaksa. Disuapi seperti saat aku bocah dulu, dengan kunyahan yang begitu lama seperti nenek ompong itu.

Aku masih duduk diranjangku dengan kedua tangan mengepal didepan kening, mengusap air mata yang tak akan pernah kering. Ibu meninggalkanku beberapa saat sementara terdengar semakin kencang ia terisak. Bahkan ayah, ikut menyumbang setitik air matanya meski langsung disembunyikan.

"Kamu belum shalat subuh, Nak," kata ayah sambil menahan tangisnya.
Aku segera bangun, mengambil air wudhu dan melaksanakan 2 rakaat salat subuh, meski tak wajar, karena aku melaksanakannya pukul 7, terlambat bangun karena semalam diberi obat tidur agar berhenti histeris. Dalam salat aku menangis, dalam setiap ucap do'a aku tak henti menangis.

---------

Sebulan sudah semua kekacauan itu. Ibu mulai bisa tersenyum melihatku, ayah mulai bisa fokus dengan pekerjaannya, dan aku mulai bisa, meski baru sedikit, mengikhlaskan Dinda. Aku mulai sadar, tak boleh aku mengedepankan ego dan mengganggu ketenangan Ayah Ibu hanya untuk memikirkan aku. Meski sulit, meski berat, aku belajar untuk tabah, berlatih untuk sabar, bertahan untuk hidupku kedepan, meski entah sampai kapan. Ada rasa ingin segera aku selesaikan tugasku di dunia, menyusul Dinda ke akhirat sana. Tapi garis takdir bukan milikku, tugasku mendo'akannya, Dindaku, wanita yang baru sehari menjadi istriku. 

Hari ini tepat 40 hari kepergian Dinda. Aku menziarahi makamnya bersama Ibu, sudah habis semua air mataku untuknya. Kami berdo'a penuh cinta. "Nak, mari kita pulang," kata Ibu mengaburkan aku yang mulai melamun tentang Dinda lagi.

Aku mengangguk.

"Lewat sini ya," Ibu memilih melewati jalan yang berbeda dengan jalan saat kami datang.

"Kenapa lewat sini Bu? Kan jadi lebih jauh?" tanyaku.

"Tidak, ibu ingin saja lewat sini," matanya sedikit melirik ke belakang, sedikit gusar.

"Ibu lihat apa di belakang?" Aku hendak melihat ke belakang tapi ibu menahan agar aku tak menoleh kesana. Sayangnya mataku malah sempat menangkap tubuh kecil itu. Aku sangat mengenalinya.

"Ayo cepat." Ibu menarik tubuhku.

"Sebentar Bu," Aku melepas genggamannya di siku kananku. Pergi menuju anak itu.

Anak itu segera bersembunyi di belakang tubuh wanita yang sedang bersamanya, Wanita itu seperti merasakan takut yang sama, dan bersiap untuk membela.

Ibu mengejarku, "Ayo... kita pulang, jangan kesana," Ibu mulai menangis lagi.

Aku terus melanjutkan langkahku hingga sampai tepat di depan wanita itu,

"Saya mohon...," katanya terbata sambil menahan tubuhku yang semakin mendekat. Anak itu memegang semakit kuat.

Aku segera berlutut, menyamakan tinggi badanku dengan anak itu. Aku memeluknya, dia menangis.

"Maafkan aku, istri kakak celaka karena aku, tubuhnya berdarah-darah karena menolongku," anak itu menangis sejadinya. "Istri kakak menolongku dan mencelakakan dirinya, hingga dia tiada, maafkan a..." aku menahan mulutnya agar tak berbicara lagi dengan telunjukku.

"Dia menyayangimu, meski tidak mengenalmu. Dia menyayangi semua orang, Dinda memang penyayang. Aku minta maaf telah memaki dan memarahimu waktu itu. Semua ini terjadi atas takdirNya. Kamu tidak pernah menjadi sebab ketiadaannya." Aku menangis, anak itu menangis. Aku merasakan kehidupan Dinda di dalam tubuhnya, kasih sayang Dinda yang refleks berlari menyelamatkan anak yang hampir tertabrak saat kami jalan berdua. Anak itu selamat, tapi Dinda menemui takdir lainnya.

Aku mengenal Dinda belum lama. Bahkan kami baru hidup bersama satu hari lamanya. Sehari lalu ia pergi, perpisahaan di dunia untuk selamanya. Tapi aku akan menjemputnya, kelak di dalam surgaNya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer