Senyum dan Sapa, Untuk Apa?

Banyak yang beranggapan senyum dan sapa itu tidak penting. Padahal, satu senyuman bisa menjalin persaudaran. Satu raut sinis seseorang bisa membuat perpecahan. Buktikan yuk!

Suatu hari saat aku tengah dalam masa kuliah kerja nyata (KKN), aku berkeliling kampung bersama dua teman. Kami sedang mencari buah-buahan untuk dibuat rujak. Diperjalanan, kami bertemu dua gadis cilik yang manis, kami tersenyum, mereka tersenyum.
"Assalamu'alaikum Kakak cantik," sapanya
"Wa'alaikumsalam adik cantik," balas kami.

Kami pun mengobrol, awalnya bertanya dimana kira-kira kami bisa dapat buah, mereka memberi tau banyak tempat, bahkan mengantar kami sampai kesana. Aku begitu tertarik dengan keduanya, sampai-sampai aku membawa mereka ke posko kelompok KKN ku setelah kami membawa cukup banyak buah.

Teman-temanku kembali menjalankan aktifitasnya sementara aku tetap mengobrol dengan gadis kecil yang baru kutemui itu. Tentang apa saja, tentang mereka. Namanya, Silvi dan Fitria. Anak kelas 4 sekolah dasar, rumahnya tidak terlalu jauh dari posko kami. Kami bicara banyak, meski aku tak benar-benar ingat apa saja detilnya. Kami begitu akrab, obrolan kami menyenangkan, sampai-sampai anak-anak lain ikut mengerumuni kami.

Teman-temanku bertanya, "siapa mereka?"

Aku menjawab, "mereka adikku."

Temanku memanggilku, meminta menginformasikan kepada anak-anak yang sedang berkumpul agar datang lagi sore nanti karena kami membuka kelas belajar dalam rangka memenuhi tugas KKN teman-teman divisi pendidikan. Aku menginformasikan dan meminta mereka pulang ke rumahnya masing-masing, waktu itu sekitar pukul 2 dan aku meminta mereka kembali pukul 4. Awalnya mereka enggan untuk pulang, tapi akhirnya mereka mau menuruti.

Pukul 4 kurang 10 menit. "Al, ada yang nyari," teriak temanku.

"Bentar, nanggung nih lagi masak. Lagian siapa yang nyari?" sahutku dari dapur.

Dua anak itu muncul dari balik pintu.

"Wah, belum jam 4 kalian udah siap aja."

"Iya, kakak kok belum siap?" tanya Silvi.

"Kakak gak ikut sayang, kakak divisi ekonomi, itu tugasnya temen-temen kakak dari divisi pendidikan," jawabku menjelaskan.

"Yah... Kakak." Raut keduanya ditekuk, seperti kecewa.

"Ayo... semangat ya belajarnya, nanti Kakak kesana deh, tapi Kakak mandi dulu ya."

Dari luar rumah, Ina ketua divisi pendidikan memanggil anak-anak "Ayo, kita ke TK untuk belajar."

Beberapa anak yang sudah menunggu diluar segera pergi mengikuti seruan Ina. Tapi Silvi dan Fitria, mereka sedikit enggan, "malu Kak," katanya.

"Sama Kakak berani, masa sama temen Kakak malu." Aku meyakinkan, keduanya akhirnya mau pergi. Aku segera kembali kepekerjaan dapurku.

"Kak, sebentar." Mereka berbalik lagi.

"Kenapa?" tanyaku.

Mereka menyerahkan masing-masing satu gantungan kunci, berbentuk kucing dan cabai. "Ini apa?" tanyaku.

"Ini untuk Kakak," jawabnya, lalu pergi, malu-malu.

Aku masih begong, manis. Sikap dua anak ini begitu manis, kami baru berkenalan siang tadi, sorenya aku sudah dihadiahi.

Hari terus berganti, Silvi dan Fitri semakin sering mengunjungiku. Setiap bertemu, selalu ada yang dipersembahkan untukku. Aku mendapat banyak gantugan dengan beragam motif salah satunya gambar pemeran utama sinetron anak jalanan "boy dan reva".

"Kenapa tiap ketemu kalian kasih Kakak hadiah?" tanyaku suatu waktu.

"Gapapa Kak, kita sayang sama Kakak." Mereka memelukku.

Hangat, hati ini tersentuh kasih polos keduanya.

Hari ini setelah hampir dua tahun KKN berlalu, aku merindukan keduanya. Kamu tau, satu sapaan ramah saja, bisa menyatukan kami bertiga yang tak saling kenal pada awalnya. Ini bukti, bahwa menjadi ramah itu penting. Bahwa hal murah dan mudahpun berharga. Senyum dan sapa bisa dilakukan siapa saja, mudah melaksanakannya, tapi tidak semua orang mau untuk itu. Coba bayangkan, jika salam "Assalamu'alaikum" ditebarkan kepada seluruh penghuni bumi. Semua orang tidak mungkin tidak saling menyayangi.

Komentar

Postingan Populer