Ayah


Sejak kecil, aku dinobatkan sebagai anak yang mirip dengan ayah. Warna kulit, jenis rambut, dalam banyak hal disamakan dengan ayah. Seorang lelaki yang baru kini aku tersadar, bahwa perjuangannya sangat luar biasa untuk menyokong kehidupanku.

Seorang pria, yang dulu pemuda dengan berani meminang mama padahal mama tidak mengenalnya. Namun, takdir menyatukan keduanya dan melahirkan enam buah hati. Yang kedua adalah aku.

Ayah, dengan akrab kupanggil 'Apa'. Apa bukan hanya kata tanya, itu sebutan untuk pria terhebat di keluarga kami.

Apa, sejak kecil aku bermanja padanya. Meminta apa saja yang kumau dan tak pernah diberi kecewa. Ia selalu berusaha mewujudkannya.

Kini aku sudah besar, kakakku sudah bekerja, aku baru menjadi sarjana, kami semakin mengerti arti perjuangan hidup yang selama ini dimudahkannya.

Dulu aku berpikir mencari sesuap nasi itu mudah, memperoleh laukpauknya pun tak susah. Padahal dibaliknya ada keringat yang tumpah, ada usaha yang tak kenal lelah. Apa bukan seorang karyawan yang pasti memperoleh gaji pokok perbulannya, ia berwiraswasta mencari pelanggan yang memerlukan jasa percetakan. Pekerjaannya bukan mencetak barang itu di perusahaannya sendiri, ia menyodorkan pada relasi sehingga keuntunganpun terbagi.

Dulu aku bertanya "kenapa uang jajanku hanya segini, padahal temanku segini?"

Baru kini aku tau jawabannya bahwa setiap ayah berjuang dengan cara yang berbeda. Lagipula jika diingat, temanku itu adalah anak satu-satunya, sementara ada enam anak yang meminta bekal pada ayah yang sama. Tak mudah menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab, tapi apa mampu untuk itu.

Apa memberi lebih dari sekedar materi, ia menjaga, dulu aku menganggapnya overprotektif, sekarang aku mensyukuri setiap perlindungannya.

Dulu aku selalu menggebu meminta sesuatu, sehingga orangtuaku terpaksa memberi jawab ya untuk pinta itu. Salah satu pinta yang kusesali adalah saat ingin menonton konser grup band favorit saat SMP disebuah lapang Kodim yang bahkan tak pernah kukunjungi sebelumnya. Saat itu aku berfikir, meski hanya siswi SMP aku telah dewasa. Sekarang aku berfikir, sikapku dulu itu konyol, membahayakan, dan pasti menimbulkan kekhawatiran. Dan ya, orangtuaku tak kehabisan pikir meski telah mengijinkan, keduanya melakukan pengawasan berjarak dan tetap mengawasi.

Itu adalah ayah, pria paling tanggungjawab untuk keluarganya. Semoga Allah melimpahkan kesehatan dan berkah hidup untukmu Apa, maafkan aku yang baru mengerti arti hadirmu dihidupku. Tanpamu aku bukan apa-apa, i love u Apa ❤.

Komentar

Postingan Populer