Refleksi "Kau Memang Kuat: Ibu"

Pukul 22.05

Tini beranjak dari tidur, di sampingnya balita gemuk yang sedari tadi ia peluk, "Tidur nyenyak ya Nak," ucap Tini lembut sambil mencium kening putri bungsu bernama Lala itu.

Dilihatnya lampu di ruang keluarga masih menyala, suara tv pun masih terdengar. Tini bergegas keluar kamar. Caca, putri sulung Tini masih asik menonton K-drama disana. "Tidur Kak, udah malem," seru Tini.

"Iya Bu, bentar lagi," jawab Caca

Dari luar rumah terdengar seorang mengucap salam, Juni, suami Tini baru pulang setelah seharian bekerja. Ia pun masuk dan duduk manis di ruang tengah melepas lelah sambil sedikit merebahkan tubuh.

"Mau kemana, Bu?" tanya Juni.

"Ibu mau ke air dulu," jawab Tini.

Tini berjalan ke arah kamar mandi dan terpeleset sesaat setelah melewati pintu sehingga menimbulkan suara jatuh yang keras.

"Naon teh nutup panto teh meni kitu?" ucap Juni dari ruang tengah, sebal.

Semua kaget dengan suara yang baru saja didengar, namun kemudian abai karena berfikir itu hanya suara yang dibuat Tini saat menutup pintu, hanya karena terlalu kencang menutup pintu.

"Ca, ambilin Ayah minum," titah Juni.

"Iya,"

Caca pergi ke dapur untuk mengambilkan minum, dilihatnya pintu kamar mandi terbuka dan Tini terduduk disana.

"Lha, ibu kenapa jatoh?" ucapnya dengan ekspresi datar, setiap bicara selalu ekspresi datar.

"Iya Kakak, bantuin Ibu bangun." Tini menjulurkan tangannya.

Caca membantu mendudukkan Tini di kursi makan, dilihatnya lantai kamar mandi dipenuhi darah segar. "Ibu berdarah?" Caca menangis.

"Oh berdarah ya," Tini menyentuh bagian kanan kepalanya dengan tangan kanan dan menariknya ke depan wajah, "oh iya berdarah," katanya biasa saja.

Perasaan Juni mulai tidak enak karena mendengar tangis caca. Ia penasaran dan mendatangi Caca dan Tini yang semakin berisik. Lantai di bawah meja makan sudah penuh darah.

"Ya Allah, Ibu," Juni panik, lalu pergi mencari pertolongan.

"Ibu pusing gak?" tanya Caca, tangisnya agak histeris.

"Enggak, Kakak udah ih nangis nya, berisik," jawab Tini seperti tak merasakan sakit apa-apa, tangan kanannya masih menempel ke bagian kepala belakang, berniat menutup aliran darah yang kian deras keluar.

Juni kembali ke rumah, wajah khawatir terlukis jelas disana, "Ibu, Ayah harus ngegedor rumah siapa atuh?"

"Ke rumah Yeni aja Yah, dia kan perawat," jawab Tini. Sedari tadi suaminya pergi mencari tapi tak terpikir siapa yang dicari. Panik.

Tak perlu menunggu lama, Yeni datang. ia kaget melihat darah yang mulai memenuhi baju Tini. "Teteh kenapa?" tanyanya sambil memeriksa bagian kepala yang terus mengeluarkan darah.

"Kepeleset" jawab Tini.

"Teteh pusing gak? mau pingsan gak? muntah gak?" Yeni meluncurkan tiga pertanyaan sekaligus.

"Enggak," Tini meyakinkan.

Semua orang tidak percaya, khawatir.

"Kang Juni ini darahnya aktif, harus dibawa ke Rumah Sakit."

Juni pun segera membawa Tini ke rumah sakit naik sepeda motornya. Perjalanan tercepat selama 20 menit. Tini hanya menahan aliran darah dengan tangan kanannya. Tidak ada yang mengingatkan untuk menutup luka itu dengan kain atau perban, sehingga darah mengalir terus melalui tangan, membasahi rambut dan pakaiannya.

---

Di rumah sakit.

Semua orang dibuat menganga dengan kedatangan Tini yang berlumur darah.

"Bukan, bukan KDRT ini mah," ucap Tini.

Sebagian tertawa kecil namun langsung kembali serius menangani pasien.

Seorang perawat datang dan menanyakan perihal sebab darah yang mengucur dari kepala Tini sambil membawa Tini ke ruang tindakan.

Dokter menanyakan tiga pertanyaan yang persis sama dengan pertanyaan yang diajukan Yeni. Sehingga jawabannya pun sama, tidak.

"Bu, ini harus dijait," kata dokter.

"Iya jait aja dok," jawab Tini santai, Tanpa beban seolah menjait bagian kepala adalah hal biasa.

"Bius jangan Bu?" tanya dokter.

"Bius Dok, sakitlah kalau gak dibius," jawab Tini.

"Berapa jaitan Dok?" tanya Tini.

"Sembilan Bu," jawab dokter. "Ibu jangan tegang ya," lanjutnya.

Dalam hati Tini merasa dokternya lah yang merasa tegang. Perasaan Tini sungguh biasa saja atas musibah yang terjadi pada dirinya.

"Saya harus dirawat gak Dok?" tanya Tini lagi.

"Ga usah bu, emang mau dirawat?"

"Ya enggak Dok, barangkali aja gitu,"

"Tiga hari lagi Ibu check up kesini," kata dokter setelah menjahit kepala Tini.

"Ibu kok kuat banget?" tanya seorang perawat takjub. Pasien bernama Tini ini sama sekali tidak mengeluhkan kesakitan padahal semua orang dibuat ngeri yang semakin menjadi setiap aliran darah yang keluar dari kepalanya. Darah yang dalam beberapa saat membuat kedatangannya di rumah sakit merefleksi rasa horor.

"Ibu-ibu itu bisa menahan sakit atas apapun yang terjadi pada dirinya. Saya gak akan bisa bayangkan kalo ini terjadi pada anak-anak saya. Saya gak akan bisa tenang" Jawab Tini.

Perawat itu tercengang.




Komentar

Postingan Populer