Adaptasi

Dunia ini tempatnya beradaptasi. Sesaat setelah lahir, kita diperkenalkan dengan suara terindah yang terucap dari lisan ayah, suara azan. Telinga kita beradaptasi dengannya. Lalu kita beradaptasi dengan dunia yang lebih berwarna, bervariatif dibanding saat tinggal di rahim ibu yang sempit dan gelap. Mata kita beradaptasi dengannya. Kita, menyusahkan ibu selama didalam kandungan, memberatkan tubuhnya, menghilangkan banyak selera dihidupnya. Sementara setelah lahir, tangan dan kaki kita mulai bisa menemukan kebebasannya. Tubuh kita beradaptasi dengannya. Tak lupa, hembusan nafas yang secara otomatis mampu kita lakukan. Hidung-pun beradaptasi dengannya.

Saat kita terlahir, Ibu menjadi seorang yang paling bahagia di dunia, tak ada sesal meski telah lama dibuat kepayahan oleh bayinya. Ibu menjadi seorang yang paling besar cintanya, 3x lebih besar dari cintanya ayah. Ibu dan Ayah merawat kita penuh kasih sayang, tak peduli berapa banyak tangis yang kita tumpahkan, tak peduli seberapa rewel dan sulitnya mengajari kita, Ibu dan Ayah mengajar kita beradaptasi dengan alam.

Saat kita mulai masuk sekolah, ibu bersabar mengantar dan memperkenalkan lebih banyak hal juga teman. Bersiap sedia membantu jika kita merasa susah, mendukung setiap langkah agar jiwa tak mudah merasa lelah. Dalam banyak hal, ibu membantu kita beradaptasi dengan semua, semua yang kita lihat, dengar, rasakan, dan lakukan. Agar kita, tak berjalanan dalam perjalanan yang salah.

Sekian lamanya ibu dan ayah membimbing kita hingga tak terasa kita mulai berada di gerbang dewasa. Tiba-tiba saja, sudah waktunya kita bekerja, mandiri, minimal untuk hidup kita sendiri. Dari semua yang diajarkannya, kita memahami hidup adalah untuk selalu tabah, sabar, dan bersyukur dalam setiap keadaannya.

Jika hari ini kita mengeluh, malu-lah, karena mungkin seseorang sedang bermimpi menjadi lakon kita dalam hidupnya. Orang kaya tak selalu bahagia, orang miskin-pun tak selalu sengsara. Ada penyebab hakiki kebahagiaan dan kesengsaraan yang bukan karena statusnya, tapi karena rasanya.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Syukur dan sabar merupakan rasa dari apa yang terjadi dari hidup, dan rasa itu dibuat oleh diri kita sendiri. Jika kita menyeduh kesabaran dalam setiap kesulitan, maka Inshaallah akan ada kebaikan didalamnya. Jika kita menyeduh kesyukuran dalam setiap kemudahan, maka Inshaallah akan ada berkah darinya. Sayangnya, kita ini manusia yang punya banyak lupa. Sehingga sering merasa sulit mengadaptasikan diri bukan hanya dengan orang lain atau lingkungan, bahkan dengan diri sendiri-pun sulit. Coba bayangkan kalau kita ini bunglon, dia dapat beradaptasi dengan lingkungan secara otomatis, tidak pernah dia lupa merubah dirinya untuk disesuaikan dengan lingkungan. Dia bunglon, fithrahnya begitu, hanya bisa seperti itu, dan kita manusia bisa lebih darinya, bukan hanya beradaptasi dengan dunia melalui warna, tapi beradaptasi dengan dunia seutuhnya, keragaman fisik, karakter, dan budaya. Kita bisa beradaptasi dengan semuanya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer