Part III "Keputusan"

Sore itu sedang hujan, seperti hendak menahan kepergianku ke rumah Pak Sobari. Padahal, Aku telah bersiap selama hampir sebulan untuk ini. Sebuah keputusan dari pemikiran panjang yang menguras seluruh energi saat gelap malam, saat kebanyakan orang terlelap, dan aku tetap bermunajat.

"Tetap mau pergi?" tanya Ibu

"Iya Bu, nunggu ujannya sedikit reda dulu."

"Sudah siap?"

"Inshaallah, apapun resikonya."

Jarum pendek jam dinding di rumah ku menunjuk sisi tengah antara angka 4 dan 5 sementara jarum panjangnya menunjuk tepat diangka 6. Hujan mulai mereda, aku bergegas pergi. Rumah pak Sobari berjarak sekitar 100 meter dari rumahku. Melewati jalanan kampung yang becek, aku berdoa sepanjang jalan, menguatkan mentalku.

Di halaman rumah pak Sobari terlihat Dea yang sedang mengepel teras rumah yang basah karna percikan air hujan. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan masuk ke dalam rumah saat melihatku. Cantik, dalam benakku. Jilbab panjangnya, pakaiannya, mencerminkan wanita yang baik budinya. "Ah..." Aku menggelengkan kepala, membuyarkan lamunan tentangnya.

"Assalamu'alaikum...." Ucapku saat berada tepat di depan rumah pak Sobari.

"Wa'alaikumsalam," jawab bu Rina, Ibu tiri Dea, Istri kedua pak Sobari sepeninggal bu Tini. "Eh, nak Fathir, mari masuk," lanjutnya mempersilahkan.

"Terimakasih Bu, Bapak ada?" tanyaku.

"Ada, sebentar ibu panggilkan. Duduklah dulu disini,"

Aku duduk menunggu di kursi kayu yang terparkir di teras itu.

"Calon menantuku, apa kabar?" sapanya hangat.

"Ehm... Kabar baik Pak," jawabku gugup.

Bu Rina datang membawakan teh manis panis dan jagung rebus yang masih mengepul asap diatasnya.

"Ini minum dan makanlah dulu sambil mengobrol. Jangan sungkan ya Nak."

Aku semakin gugup, keramahan dan kebaikannya mulai membuatku khawatir. Apa jadinya nanti, pikirku.

"Em.... begini Pak, maksud kedatangan saya kesini ingin membahas apa yang pernah Bapak sampaikan sebulan yang lalu."

"Jangan terburu-buru, minumlah ini dulu," Pak Sobari kembali menyodorkan secangkir teh manis panas itu.

Aku benar-benar gugup, menaburkan banyak doa agar kuat hatiku dengan keputusan yang hendak aku sampaikan.

"Bapak... Bapak...." Bu Rina berteriak dari dalam rumah. Panik, pak Sobari langsung berlari mendekati sumber suara. Aku hendak mengikuti tapi sungkan, seperti tak ada kesantunan. Sampai akhirnya, Pak Sobari memanggil.

"Fathir... Bisa kau bantu Bapak?"

Aku segera masuk, di dekat meja makan Dea terlihat berbaring tak berdaya, wajahnya sedikit pucat. Aku mendekat, tapi tak lakukan apapun sebelum diperintah, canggung.


"Bapak sudah terlalu tua dan tak kuat menggendongnya, bisa kau bantu bawa dia ke kamarnya?" pinta pak Sobari.

Aku bingung, aku tak berani menyentuhnya.

"Saya bukan tidak ingin,  tapi Saya...."

"Ada apa Bu?" sebuah suara terdengar mendekat ke arah kami.

"Dira, kemari adikmu ini pingsan lagi."

Dira memangku Dea ke kamarnya ditemani bu Rina dan pak Sobari. Aku menunggu diluar.

"Apa Dea sedang sakit?" pikirku, "Apa bisa aku lanjutkan percakapan dalam keadaan seperti ini?" Aku memutar ingatan tentang keputusan itu dan kondisi yang terjadi sekarang. Dilema. Dan Aku hanya bisa membatin.

"Tir," suara Dira mengagetkanku. Dira adalah Kakak dari Dea, sudah menikah dan tinggal di kampung sebelah. Dira juga teman bermainku sewaktu kecil, usianya 3 tahun lebih tua dariku.

"Eh, Dir." kataku, gemetar.

"Bapak bilang, lain kali aja ya ngobrolnya. Maaf, bukan maksud apa-apa tapi keadannya sedang tidak memungkinkan."

Aku menganggukan kepala tanda mengerti, "tapi Dea baik-baik aja kan?" Aku hanya ingin memastikan.

"Dea baik ko."

Aku pamit, hanya pada Dira dan menitip salam untuk yang lainnya.

 

Komentar

Postingan Populer