Part II "Ayahnya Melamarku"

"Shadaqallahul'adziim..., Alhamdulillah. Hari ini adik-adik sudah hafal surat An-Naba dengan artinya sebanyak 10 ayat. Inshaallah, kita akan menambah terus hafalan Alqur'an. Supaya apa?" tanyaku pada 15 anak yang melingkar di dalam mesjid Al-Furqan.

"Masuk surga...." jawab sebagian anak serempak.

Aku memberi isyarat benar dengan anggukan kepala.

"Supaya, bisa, pakaikan, jubah kemuliaan, untuk Mama dan Papa, di, surga," sahut Rina terpenggal-penggal. Anak yang masih berusia lima tahun itu memang manis dan lucu.

"Supaya mendapat cahaya dalam kubur." sahut Dian.

"Nah benar, rupanya kalian telah memahami manfaat membaca dan menghafal alqur'an. Dan yang tak kalah penting adalah meng.....?" kataku terputus.

"amalkannya," sahut anak-anak kompak.

"Baiklah. Kita cukupkan dulu pengajian malam ini, jangan pernah berhenti belajar karena belajar itu merupakan kewajiban sejak dalam buaian sampai ke liang lahat. Kita tutup dengan pembacaan hamdalah, istigfar tiga kali, dan do'a kifaratul majlis."

Azan Isya berkumandang, aku bergegas mengimami shalat berjamaah, anak-anak berjejer rapi di belakangku.

---------

Diperjalanan pulang ke rumah, pak Sobari ketua RT 15 memanggilku, "ustad Fathir, ada yang mau saya bicarakan."

"Oh iya Pak, boleh," aku mengikutinya kembali ke serambi masjid. Tidak ada siapapun disana, hanya Aku dan pak Sobari.

"Maaf jika Saya lancang, sebetulnya Saya melihat nak Fathir ini sebagai sosok yang baik. Jika berkenan, Saya hendak menjodohkan nak Fathir dengan putri saya, Dea."

Suara petir seperti menyambarku, menegangkan saraf-saraf hati yang baru saja ditenangkan. Aku menjawab pelan, "Saya, tentu Bapak tau Saya hanya...." kalimat itu belum selesai terpotong kalimat baru pak Sobari.

"Tidak usah dijawab sekarang. Bapak ingin kamu berfikir sebelum memutuskan, istikharahlah. Bapakpun melakukannya."

Obrolan itu selesai, kami pulang ke rumah masing-masing, dua arah yang berbeda.

"Assalamu'alaikum..." kataku sambil membuka pintu rumah.

"Wa'alaikumsalam..." jawab Ibu, Bapak, dan Namira adikku. Aku mencium tangan keduanya yang sedang bersiap untuk makan malam.

"Ada apa?" tanya ibu, teduh.

"Tidak ada apapun Bu, mari kita makan dulu," aku menjawab sekenanya, mata ibu masih memperhatikaku tanda tak puas dengan jawaban itu.

Ibu membereskan meja makan, Namira mencuci piring, Bapak menonton berita di TV, dan Aku bergegas masuk kamar. Saat melewati kaca yang menempel di dinding kanan kamar, aku tersenyum simpul, ada rona wajah tak tentu arah, ada kebingungan disana.

Aku mencari telepon genggamku, mencari tau sedang apa dirimu, tapi tak menemukan kabar apapun tentangmu. Tatapanku kosong memandang langit-langit kamar sambil merebahkan tubuh diatas tempat tidur.

"Fathir ... Fathir ... Nak, kamu melamun. Ibu tau kamu tidak sedang baik-baik saja." Aku tidak menyadari kedatangan Ibu yang tiba-tiba telah duduk di sampingku.

"Jujurlah pada Ibu, Ibu tau bukan kebiasaanmu seperti ini," lanjutnya.

Aku menceritakan obrolanku dengan pak Sobari dan keberatanku untuk melepasmu. Ibu telah mengenalmu meski hanya melalui obrolan di telepon dan beberapa pesan singkat.

"Ibu memahami betul perasaanmu Nak. Benar kata pak Sobari, beristikhorohlah."

-----


Komentar

  1. Pak rt tiba" cari mantu....gk pke pdkt hehehehe.....slmt untuk kamu Alia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ceritanya udah kenal gitu pak, hehe...
      selamat untuk??

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer