Part I "Sinyal Kepergianmu"

Pagi ini dingin. Tak peduli matahari menyapa tubuhku dengan paparan sinarnya, Aku tetap merasa dingin. Betapa banyak yang menunjukkan keramahan dan mengajak bicara, tetap saja rasanya dingin. Kebekuan dirimu, ketidakberdayaanku, kita bisa membohongi siapapun tapi tidak dengan diri kita sendiri. Aku tau kamu selalu memakai hatimu, aku yakin, termasuk dalam apa yang kau tulis ini. Meskipun tak secara khusus tertuju padaku, tapi aku merasakannya sampai ke hati. Dan ini menyiksa diamku. Aku memahamimu, Aku tau kenapa kau bicara begini dan begitu, Aku merasakan ketakutan, kekuatan, dan rasa sayangmu dalam waktu yang bersamaan. Aku minta maaf karena belum jua kabulkan inginmu, atau sekadar memberi penjelasan kepadamu. Aku tau kamu merasa sakit dan Akupun begitu. Maafkan Aku hanya bisa membatin, Aku merindukanmu dan menyimpan semua rasa ini sendiri dihatiku.

Telepon genggam ini memberi kabar tentangmu. Aku tak melihat secara langsung kepergian dirimu, Aku melihatnya dalam kalimat-kalimatmu. Aku memutarnya berulang, sebuah video musikalisasi puisi berdurasi 59 detik, seolah-olah kau pamit.

"Pada akhirnya aku pasrah
KetetapanNya adalah yang terindah
Aku, tidak lagi berangan tentangmu
Aku, tak lagi menunggumu

Aku tersadar, tugasku bukan menjaga hatimu
Dan bukan tugasmu menjaga hatiku
Hanya satu yang harus kita cari
Kemaslahatan dan KeridhaanNya

Tugas kita, membangun cinta karenaNya
Dengan dia yang telah ditetapkanNya"

Apa maksud kalimatmu? Ingin aku menahanmu tapi bagaimana caranya? Mengapa Aku setidak-berdaya ini?

"Matahari yang sama menyapa kita di tempat yang berbeda
Tapi jika Aku merasa dingin karenanya,
Apa Kau merasakan dingin yang sama?"

--------

"Astagfirullah," aku menggelengkan kepala dan menghilangkan lamunan itu. Resah hanya milik mereka yang tak beriman. Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Aku yang berniat melaksanakan salat duha malah melamun di serambi masjid.


"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." dengan lirih kuucap kalimat itu sambil menengok ke kiri kemudian menengadah mengetuk pintu arsy Allah yang Maha Agung,

 "Allahumma inna dhuha’aa dhuha’uka, wal bahaa’a bahaa’uka wal jamaala jamaaluka wal quwaata quwwatuka wal qudraata qudratuka, Allahumma inkaana rizki fii samaa’i fa anzilhuu, wa inkaana fil ardhi fa akhrijhuu wa inkaana musyiiran fay yahsyirhuu wa inkaana haaraman fat takhirhuu wa inkaana baa’idan fak karribhu Bii haqqi dhuhaa’ika wa bahaa’ika wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika Aatinii Maa ataitaa min ibaadikash shaalihiin. Aamiin...."
 
Kulanjutkan do'a itu dengan doa yang lain, "Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbii 'alaa diinik. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku atas agamaMu. Kutitip rasa ini kepadamu, agar hilang segala gundah dan susahku. Berilah aku ilmu dan petunjukMu yang lurus untuk memperjuangkan separuh agamaku," hening seketika dan rasa hatiku mulai membaik.





Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer