Catatan FB "Api Membakar, Zikir Membara"

Assalamu'alaikum... Hari ini belum ada tulisan baru. Tapi barangkali ini bisa mewakili ide yang pernah muncul dulu. Ini catatan yang sempet aku publish di Facebook tanggal 25 Juli 2014. Seinget aku nulisnya sebelum sahur di bulan Ramadhan karena inspirasinya di dapet beberapa menit sebelumnya. Kisah nyata tapi dengan style cerita pribadi. Beberapa hari di publikasi, lalu aku ubah pengaturan privasi nya menjadi private. Alasannya, Aku pakai nama orang tanpa samaran sementara banyak tetangga yang berteman di fb, takut menimbulkan salah paham. Jadi disini aku edit nama-nama, ejaan, dan spasi. Nulis di hp yang, mungkin kepanjangan jadi banyak spasi tertinggal. Kasian kan kalo ga di ajak?! Selamat ngopi lagi, mudah-mudahan gak bikin ngantuk.😚😚
---- 

Inikah malam Lailatul Qadar itu? Malam ganjil, tiga hari menjelang hari Raya Idul Fitri. Allah Maha Pengasih, Ia menyanyangi kami. Allah telah menunjukkan betapa patutnya kita bersyukur atas karunia Allah selama ini. Hal yang mungkin jarang dan tak pernah kami syukuri. Indahnya lelap di sepertiga malam yang gelap. Kami tidak pernah menyadari betapa kami harus bersyukur terlelap dalam hangatnya selimut yang menyelimuti kami. Kami lupa. Itu adalah nikmat.

Hingga akhirnya, kehangatan berubah menjadi api panas yang membakar. Ya membakar. Api telah mengepul diatas hitamnya langit ketika aku terbangun. Banyak orang keluar dari rumahnya untuk melihat musibah itu. Membantu ataupun hanya melihatnya. Aku tidak percaya ini terjadi di kampung halamanku. Semua bertanya apa penyebabnya dan rumor pun beredar simpang siur. Mulai dari lilin yang entah dipasang dimana dan entah untuk apa dipasang karena malam itu listrik menyala biasa. Atau, isu bahwa seorang tetangga yang biasa dipanggil Ceu Een memasak dan lupa mematikan kompornya lalu pergi meninggalkan api yang menyala di kompor tersebut dan beribadah di rumah Allah, beritikaf.

Rumahku adalah rumah kesekian dari rumah utama yang terbakar. Jaraknya mungkin hanya beberapa meter. Dan rumah-rumah disini berdempet seperti kampung-kampung pada umumnya. Beberapa tetangga yang rumahnya berjarak lebih dekat kepada rumah terbakar utama mengemasi barang-barangnya terutama Ijazah dan surat-surat berharga lain. Sakelar listrik dibeberapa rumah yang jaraknya dekat mulai dimatikan, gas-gas dicopot dari regulatornya, dan semuanya menjauh, berteduh di rumah lainnya yang dirasa aman.

Aku terlalu penasaran untuk berdiam diri didepan rumah menyaksikan api yang memerah dan asap yang demikian mengepul di langit utara sana. Perlahan aku melangkah mendekat, mencoba mengamati lebih lekat. Tak terlalu dekat karena aku tak mau mengganggu mereka yang sedang berkorban membantu mengestafetkan air dari empang depan rumahku ke rumah utama terbakar. Bapak-bapak dan para pemuda berjejer disana. Kabarnya,mereka kesulitan memperoleh air sehingga harus mengambil air dari empang yang jaraknya cukup jauh ke rumah utama terbakar.

Akupun membelokan arah investigasiku melalui gang dan keluar dijalan utama. Mobil pemadam kebakaran terparkir disana, orang bilang mobil tersebut ada dua. Tapi aku hanya lihat satu. Mungkin aku kurang jeli memerhatikannya karena aku sibuk mencari Nana, Nani,dan guruku bu Lili yang kabarnya rumahnya telah habis terlalap si jago merah itu. Aku menemukan Nana tepat di depan toko bernama “Bolu Enak” memeluknya dan mengatakan kata umum yang biasa diucapkan “sabar ya!”. Nana menggendong sebuah ransel kecil yang mungkin isinya hanyalah ijazah dan dokumen yang berhubungan dengan sekolahnya. Aku mulai khawatir pada adiknya, Nani yang masih SD mungkin kelas 5 atau 6 karena biasanya ia menangis dalam keadaan seperti itu. Akupun bertemu Nani dan memeluknya cukup lama. Aku merasakan ketakutannya dan aku rasa dia masih ingin menangis tapi mungkin airmatanya telah habis karena jauh sebelum aku datang tentu mereka telah terisak.

Sementara itu, di dalam toko“Bolu Enak” itu Ceu Een menangis, menjerit, dan mungkin sedang kehilangan kesadaranya karena kalut. Beberapa orang membantu menenangkan bahkan ada polisi disana. Aku benar-benar merasa tak habis pikir atas musibah ini. Semua warga kampung bertebaran dijalanan mulai dari gang sampai jalan protokol. Anak-anak, remaja, bahkan orangtua. Semuanya dengan kalut yang sama dan mungkin doa yang sama dihatinya. Agar Allah, memperkenankan mematikan api tersebut dan menyelamatkan kami semuanya.

Dari yang terdengar ditelingaku, api itu mulai terlihat sekitar pukul 12 tengah malam. Ketika itu, beberapa orang sedang  menikmati itikafnya didalam mesjid Al-Furqan. Termasuk juga Ceu Een didalamnya. Lokasi kejadian sangat dekat dengan mesjid. Kabarnya, api pertama berasal dari kompor Ceu Een lalu merembet ke rumah Mang Gani yang kabarnya baru membeli 6 tabung gas. Mungkin disana titik utama besarnya api. Dalam bayangku, api dari rumah Ceu Een lalu ke rumah Mang Gani dan menemukan partner terbaiknya yaitu gas. Mungkin gas itu menyebabkan ledakan sehingga apipun dengan mudahnya membesar. Tapi entahlah, aku tak tau kebenaran kabar itu, semua yang terdengar mungkin awalnya dari opini masyarakat lalu tersebar menjadi sebuah issue. Yang pasti aku tak dengar ada ledakan. Mungkin bayanganku telah salah menafsirkan.

Aku masih berkumpul dalam keramaian di depan toko bolu Enak ketika jarum pendek penunjuk sang waktu menunjuk celah diantara angka 12 dan angka 1 sedang jarum panjangnya menunjuk angka 6. Lunglai rasanya tubuh ini, sungguh teramat lemas. Padahal, aku hanya seorang penonton yang Alhamdulillah rumahnya tidak dilalap api karena mungkin ia telah kekenyangan melalap entah berapa rumah disana. Sungguh itu pertolonganyang nyata dari Allah.
Tak terbayang rasaya jika aku termasuk orang yang rumahnya habis. Entah akan ada berapa orang yang mengatakan sabar padaku tapi mungkin aku tak mampu untuk itu. Bayangkan, saat kita terlelap ternyata api telah sangat dekat dengan kita. Mungkin, aku akan berpikir itu ajalku dan aku belum sempat bertaubat sehingga Allah memulangkan aku ke neraka. Naudzubillah. Musibah sungguh tidak ada yang tau kapan terjadinya.

Ingat, ini adalah bulan suci Ramadhan. Malam ke 27. Detik-detik kemenangan yang Agung akan segera terwujud tapi Allah ingin mengajari kita hal yang tidak biasa di akhir Ramadhan kali ini. Bukankah bukan hal biasa ketika rumah tetangga kita terbakar dan kita harus terbangun untuk membantu mematikannya? Bukankah bukan hal yang biasa ketika tetangga kita meneteskan airmata dan seluruh dunia seakan menyemangatinya untuk tetap tabah? Bukankah bukan hal biasa kita bersilaturahim dengan banyak orang dipukul 1 dini hari dengan tatapan sama dalam kalut dan doa. Semuanya terasa seperti saudara. Teramat indah.

Dan itulah yang harus kita petik dari musibah ini. Bukan rasa kecewa atau amarah pada Sang Khaliq, tapi rasa cinta yang semakin besar pada Sang Ilahi Rabbi. Coba kita pahami keadaan hati setiap orang yang baru terkena musibah. Coba rasakan posisi mereka ada pada diri kita. Sekuat apapun energy negative seperti ketakutan dan rasa bersalah yang teramat dalam, kita harus mencoba mengkontrol diri kita dan ingat kepada Allah. Lupakan semua harta duniawi kita dan ingatlah bahwa Allah telah mengatur Rezeki seluruh makhluknya. Tenangkan diri dan cobalah berhusnudzan terhadap Allah. Jangan pernah biarkan diri kita digodai Syaiton dan menyalahkan Allah atas apa yang terjadi pada kita. Aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik untuk kita.

Dan bagi kita, yang Alhamdulillah masih terjaga dari musibah, bersyukurlah. Dan bersiaplah untuk menghadapi musibah yang mungkin sewaktu-waktu dapat terjadi pada kita. Jaga selalu hati kita dari Suudzan terhadap Qada Qadar Allah jika kita belum bisa bersyukur atas hidup kita. Ketentraman hidup akan kita peroleh jika kita mau bersyukur. Jika kita belum dapat bersyukur, bersiaplah gelisah mejalani hidup. Point utama penenang hati adalah Zikir.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer