Ruang Tunggu part I

Ini yang aku benci dari rumah sakit. Meskipun datang jam 7 pagi, tetap saja antri. Nomor antrian 75, panggilan baru sampai nomor 30. Mungkin karena ini adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) kota Sukabumi, jadi banyak pasien darimana-mana se-Sukabumi tumpah disini. Lama sekali aku harus menanti, sedihnya lagi aku sendiri. Dikursi tunggu calon pasien, aku memerhatikan sekeliling. Betapa banyak yang mengantri dalam keadaan menahan sakit, banyak yang diantar keluarganya karena mungkin tubuhnya tak sanggup lagi pergi sendiri. Antrian untuk periksa umum yang berbayar mencapai ratusan yang terpanggil baru puluhan. Sementara disebelah, antrian pasien dengan jaminan BPJS mencapai ribuan yang terpanggil baru seratusan. Pikirkan saja, begitu banyak orang sakit dengan ragam penyakit berbeda harus menunggu begitu lama untuk pemeriksaan yang sebetulnya hanya beberapa menit saja. Aku tidak mengerti dunia medis, tentang pasien-pasien yang ditelantarkan waktu penantian untuk bertemu dokter yang diharap bisa memberi obat pengurang rasa sakit yang dideritanya.

Menunggu selalu perlu kesabaran, meskipun dalam sabar berarti ada rasa sakit yang harus sementara ditahan. Sementara, yang kadang lama menurut ego kita, kita berfikir bahwa orang lain tak paham dengan sakit yang kita derita, kesal kan terlalu lama menunggu, dalam sakit lagi. Aku mulai jenuh, sudah dua jam hanya duduk menunggu. Telepon genggamku pun mulai bosan dimainkan, buka kunci, cek whatsapp, kunci lagi, terus saja seperti itu padahal tidak ada pesan baru. Aku bertanya pada seorang ibu disebelahku, ibu paruh baya dengan gamis warna hitam dan jilbab yang dibelit sekedarnya, dibawah kakinya sebuah tas besar yang nampak penuh. "Ibu sakit apa?" tanyaku.

"Bukan Ibu yang sakit, tapi Bapak." Ia menunjuk seorang lelaki kurus yang terlihat lemah dengan dibalut sebuah jaket yang nampak terlalu besar untuk ukuran tubuhnya. Seorang lelaki sedikit lebih muda menyuapi minuman pada bapak tersebut.

"Bapak kelihatan menggigil bu, sakit apa?" tanyaku.

"Duka nyaeta Neng, tos tilu wengi panas sareng leuleus wae. Biasana mah upami dipasihan obat warung ge kiat deui. Ayeuna mah duka gening kitu. (Gak tau Neng, sudah tiga malam tubuhnya panas dan lemas. Biasanya kalau dikasih obat warung kuat lagi. Sekarang entah kenapa seperti itu)," jawabnya.

"Nomor antrian ka sabaraha, Bu? (Nomor antrian ke berapa, Bu)" tanyaku lagi.

Ibu itu memperlihatkan secarik kertas berisi nomor antrian, tertera disana No. 598 untuk antrian BPJS.

Aku tertegun, sedih melihat bapak yang sudah begitu lemah tapi masih harus menunggu cukup lama. Ibu disampinku pun terlihat sudah lelah.

"Ibu timana (darimana)?"

"Ti Cireunghas, tadi angkat ba'da subuh supados teu antri. Eh, gening seer nu langkung enjing (Dari Cireunghas, berangkat setelah subuh supaya tidak antri. Ternyata banyak yang lebih pagi)," jawabnya.

"Tujuh puluh lima." Nomor antrianku terpanggil di speaker. Aku segera pamit pada ibu itu, lupa menanyakan namanya dan segera menuju meja pendaftaran.

"Ke Poli apa?" tanya petugas.

"Gigi," jawabku sambil memberikan uang lima puluh ribu untuk biaya pendaftaran. Kemudian bergegas menuju ruang poli gigi, dan mengantri lagi.

Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya terpanggil juga namaku. Aku segera masuk ke ruang periksa, "Kenapa giginya?" tanya seorang dokter lelaki yang pernah muda, rambutnya sudah beruban.

"Bolong Dok?"

"Sakit?"

"Enggak terlalu Dok, sakitnya kalau lagi makan aja."

"Oh ini harus diobati dulu," Dokter itu mengetuk-ngetuk gigiku, dengan alat yang entah apa. Agak ngilu.

"Hari ini saya kasih kamu obat, minggu depan kemari lagi baru kita tambal gigi bolongnya."

Aku segera keluar dari ruang periksa, tak sampai sepuluh menit disana. Segera mengambil obat dan membayar biaya periksa. Minggu depan kemari lagi, enggak, gak mau. 


Rumah Sakit, sebuah ruang penantian dengan harap sakit bisa hilang atau ajal segera datang. Semoga mati kita khusnul khotimah.

Komentar

Postingan Populer