Rekonsiliasi Rasa

Kita berteman, 
lalu akrab, 
merasa dekat, 
bersahabat, 
dan endingnya ...

Angin bertiup lembut memanjakan tubuh yang gerah karena panasnya udara pelabuhan ratu. Di sebuah lapak pinggir pantai, sambil menyeruput segarnya kelapa muda yang disajikan langsung dalam buahnya, aku duduk bersama seorang teman, Lutfi, kami memandangi pantai, sesekali mengobrol santai, namun lebih banyak diam.

"Kamu tau apa makna zona nyaman?" tanyaku memecah diam setelah hampir tiga puluh menit.

"Zona dimana kamu merasa nyaman, zona yang ada jika kamu sedang bersama dengan seseorang." Dia memandang ke arahku, aku tetap menatap ke depan, hanya meliriknya lewat sudut mata kanan.

"Lalu?"

"Zona nyaman membuatmu rela kehilangan seluruh waktumu hanya untuk bersamanya. Meskipun hanya duduk berdua sambil terpaku dalam diam." Kali ini dia melempar tatapannya kembali ke arah pantai. 

"Apa zona nyaman menghadirkan perasaan?"

"Ya, tentu. Rasa yang akan selalu bertahan meskipun diacuhkan, meski hanya sembunyi dibilik hati sendirian."

"Meskipun mungkin itu akan menjadi sebab dia pergi?"

"Itulah kenapa rasa itu bersembunyi, karena tidak ingin dia pergi." Telunjuknya menunjuk sebuah batu karang yang besar, "lihat batu karang itu! Ombak menikamnya berkali-kali, tapi ia bertahan disana. Ia tau bahwa ombak hanya ada di pantai. Maka ia menetap, ia terlanjur merasakan zona nyaman."

Kami kembali diam.

"Pulang yuk!" ajakku.

"Kok pulang? belum satu jam kita disini. Nyentuh air lautnya juga belum"

"Kalo dinanti-nanti, pulangnya kemaleman. Udah jam tiga ini, udah sore. Kita naik motor loh, angin malem dingin. Lagian Sampe rumah jam berapa coba?! "

Dia mengalah, kami pulang.

Sepanjang perjalanan adalah senja yang sunyi. Guyonannya tak lagi menarik agarku bicara banyak.

---

Musim berganti, kemarau mulai menghampiri, gersang tanpa kehadirannya. Dia sibuk dengan pekerjaannya, selain paham bahwa aku menjaga jarak dengannya. Dia tidak mau mengusik dan menghormati pilihan sikap yang kuambil. Kadang aku rindu kebersamaan kami, tapi masa lalu tak akan bisa kembali. Terlebih aku tau, bahwa menjaga diri kami sendiri-sendiri jauh lebih baik daripada bersama tapi memupuk dosa.

Suatu siang yang cerah, sebuah pesan whatsapp dari Lutfi.

"Assalamu'alaikum Fit, sore ini bisa ketemu? Di cafe van milla."

Entah kenapa aku bersemangat membalasnya, "Ya, aku kesana, tapi ditemani Nina, teman kerjaku."

"Oke." 

Senja mulai menyapa, hangat jingga dilangit sana. Sedikit berdebar mengawal perjumpaan dengannya. Pertama kalinya sejak musim hujan berlalu, empat bulan lalu.

Lutfi duduk dikursi salah satu pojok ruang, berkemeja rapi, menungguku ditemani buku bacaan baru miliknya. Aku tau itu buku barunya karena aku hafal semua koleksinya.

"Gak masuk Fit?" tanya Nina.

"Hm, ayo," kataku gugup.

Kami menghampiri Lutfi, "Silahkan duduk," katanya.

"Lha, kok sadar sih, kirain masih anteng baca buku."

"Sudut mata kanan, aku udah liat kamu daritadi, gak fokus baca jadinya, haha," Lutfi tertawa kecil.

Aku dan Nina duduk bersebelahan, sementara dengan Lutfi, kami berhadapan.

"Ayo, pesen dulu,"

"Greentea," aku dan Lutfi mengucapnya berbarengan.

"Aku udah hafal," katanya.

Nina tersenyum kecil melihat kami.

Sambil menunggu pesanan kami datang, kami mengobrol santai seputar pekerjaan dan keseharian,

"Kemarin-kemarin sibuk banget ya Pak bos ini?" kataku.

"Kemarin ada audit, beberapa data harus di rekonsiliasi buat urusan pajak."

"Oh..." aku menganguk seperti paham.

"Ngerti?" tanyanya.

"Enggak, rekonsiliasi itu kaya gimana?" tanyaku malu-malu.

"Rekonsiliasi itu buat memulihkan hubungan," sambar Nina.

"Haha iya gitu bener banget," jawab Lutfi.

"Apa sih kalian ko jadi hubungan?"

"Rekonsiliasi itu pencocokan data yang dilakukan di dua tempat yang berbeda," jelas Lutfi.

"Misalnya, ada suatu data yang pencatatannya dilakukan di dua perusahaan, yang satu pegang a, satunya pegang data b, nah kita perlu merekonsiliasi biar tau data itu valid atau engga, kalo beda, nanti ada penilaiannya lagi, wajar atau enggak," sumbar Nina lagi.

"Terserahlah," kataku.

Mereka tertawa.

"Coba rasainnya pake hati, gini ya, data itu ibarat perasaan, perasaan yang dirasain bukan hanya oleh seorang, tapi dua orang, ibarat nya Fitri dan Lutfi lah ya," Nina mengangkat matanya melirik aku dan Lutfi.

"Ih apa sih?" Kataku mengendus kode tak wajar dari mata dan kata-kata Nina.

"Dengerin dulu," kata Lutfi, "Terusin Nin,"

"Nah, masing-masing punya perasaan kan ya, gak mungkin manusia gak punya perasaan. Segala sesuatu itu perlu di cek kebenarannya, validitasnya, caranya dengan rekonsiliasi, ibaratnya Lutfi lapor tentang perasaannya ke kantor pajak karena harus bayar pajak, kata kantor pajak yang bener ini perasaan kamu ke Fitri begini, nah buat buktiin itu harus ada rekonsiliasi antara Lutfi dan Fitri biar jelas apa yang sebenernya kalian rasa, intinya untuk menyelesaikan perbedaan, yang ini namanya rekonsiliasi rasa" terang Nina.

"Itu analogi paling gak jelas tau gak?" kataku.

"Rekonsiliasi itu mirip konfirmasi, tapi kalo untuk perusahaan ya harus jelas datanya, biasanya pake rekening koran bank dan jurnal perusahaan," tutur Lutfi.

"Nah kalo gitu aku paham,"

Pesanan kami datang. Lutfi makan dengan lahap dan habis paling cepat. Disuapan terakhirku Lutfi mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak, "Aku mau merekonsiliasi rasa kita Fit," katanya.

Setelah batukku habis, guyon-guyon berubah menjadi percakapan yang lebih serius.

"Kita tidak lagi intens berkomunikasi, semuanya hambar, setelah rasa itu ku umbar. Maafin aku Fit," katanya. "Aku awalnya gak paham, kenapa kamu acuh dan menjaga jarak sampe akhirnya Nina kirim VN (voicenote) ini." Lutfi menyodorkan telepon genggam miliknya mengisyaratkan agar aku mendengarkan vn yang dimaksud.

"Aku jadi sensitif Nin, aku menjauh, bukan karena gak mau jaga persahabatan kita. Kalo kita terlalu deket, perasaannya bakal semakin tumbuh, bisa jadi luka yang mungkin bakal aku kasihpun makin besar. Itu kenapa aku memilih berjarak sama dia. Selain kita gak boleh pacaran, mendem rasa buat apa? Buatku persahabatan dan cinta itu gak sama. Meskipun makna cinta itu masih entah apa,"

Aku kaget, curhatku pada Nina beberapa hari yang lalu bisa sampai ke telinga Lutfi. "Jarak akan membuat rasa itu netral, berekonsiliasi secara natural, lalu kita akan kembali menjadi sahabat seperti biasanya. Maaf tapi ada ruang yang berbeda untuk cinta, semua hubungan tak bisa berbaur begitu saja, ada batas-batas yang harus terjaga yang tidak bisa dibumbui rasa semaunya," tiba-tiba kalimat itu meluncur dari lisanku.

"Kita udah dewasa Fit, aku gak mau berjarak dengan kamu. Seandainya kamu mau menikah dengan aku?" kalimatnya terhenti disana.

Aku pergi, meninggalkan Lutfi dan Nina menuju ruang sendiri. Membiarkan mereka bingung, dan aku merasa tersesat dalam kebingungan yang kubuat. Aku menyepi, sendiri dalam tangis karena hanya air mata yang mengerti.


Komentar

Postingan Populer