Mila (Part I: Keluarga)

Hujan turun amat deras, jalanan terbilang sepi, kendaraan banyak yang menepi. Tapi seorang gadis malah berlari, dengan pakaian gamis biru muda, luaran batik, dan jilbab berwarna senada, dia menerjang hujan dengan lincah, sesekali berjalan dibawah koridor beratap, lalu kembali berlari dibawah langit senja yang gelap. Dia adalah Mila.

"Assalamu'alaikum." Ucap Mila sambil membuka pintu rumah yang tak terlalu luas, sedikit pengap, amat hangat untuk jumlah penghuninya yang banyak, kadang kala gerah. Penghuninya bukan orang lain, namun keluarga Mila sendiri. Ada orangtua, kakek, nenek, 3 adik perempuan, dan 3 adik laki-laki. Total keluarga Mila ada sebelas. Cukup untuk membuat satu tim kesebelasan. Tetangga menyebut keluarga Mila Timnas. Bukan Tim Nasional tapi Tim pak Anas, ya Pak Anas adalah nama ayah Mila.

"Wa'alaikumsalam, Mila hujan-hujanan, padahal sms Mama, nih baju Mama juga basah abis jemput adik bungsumu, biar sekalian." Bu Nisa memperlihatkan bagian bajunya yang basah.

Setelah menyalami sang ibu, Mila malah asik mencicipi bakso sang adik bungsu, Humaira. Itu... yang baru saja bu Nisa jemput dari sekolah agamanya. Seorang anak kelas 2 Madrasah Diniyah (MD) dan kelas 3 Sekolah Dasar.

"Ih... Kakak apa sih ngabisin aja!" Humaira mendumel, Mila tetap asik menikmati bakso yang tersaji disana.

"Mila... ganti baju dulu," seru bu Nisa.

"Bentar, Ma. Gak basah ko,"

"Gak basah gimana, pegang nih jilbabnya, bajunya,"

"Iya ini aku pegang, gak basah Ma, warnanya cuma jadi lebih tuanya karena air, gak basah," Mila bersikeras, meskipun amat jelas terlihat bajunya basah, setengah bagian basah kuyup.

'Setidaknya sepatuku gak basah' pikir Mila.

Mila kemudian melepaskan mangkuk bakso milik Humaira, membuka tas, dan mengambil hp nya.

"Ganti baju Mila," ujar bu Nisa mulai geram.

"Iya Mama," timbal Mila sambil segera bergegas masuk ke kamarnya.

Setelah Mila berganti pakaian, Humaira masuk ke kamar Mila, "Ka, ini bentuk apa?" Dia menunjukkan sepiring nasi goreng yang dibentuk sedemikian rupa, lebih tepatnya dipadatkan di dalam sebuah misting, lalu dicetak di piring.

"Itu kucing," jawab Mila.

"Salah, ini doraemon," ujar Humaira menggemaskan.

"Adek emang gak kenyang makan bakso?"

"Enggak, kan diminta tadi sama kakak,"

"Ya ampun, tadi kamu cuma kasih kakak setengah dari bakso kecilnya, terus kaka abisin airnya pake kerupuk. Yang makan baksonya tetep kamu dek,"

"Iya, tadinya kan mau dikasih nasi airnya."

"Yaudahlah terserah, mana sini nasi gorengnya, nyobain!" Mila segera mengambil alih sendok dari tangan Humaira lalu melahapnya sesuap, "Yaudah, makannya di rumah sana, dek." Mila mengusir adiknya keluar kamar.

Sebuah buku bertengger di rak sebelah kanan ranjang Mila, ia segera mengambilnya sekaligus mengeksekusi pena disampingnya. Ia mulai menulis,

'Berlari menerjang hujan seperti bocah, 
membiarkan baju basah, 
lompati kobangan gang dengan lincah. 
MENYENANGKAN, 
rasanya sedikit lega saja. 
BAHAGIA'

Mila menutup catatannya, menyalakan hp. Ada sebuah pesan masuk dari Kania, adik keduanya, "Ka, bilangin Mama Kania pulang agak malem. Ngerjain tugas."

"Oke. Hati-hati pulangnya," Jawab Mila.

Tidak ada balasan lagi.

Kania, anak ketiga pak Anis dan bu Nisa. Siswa kelas 2 SMA yang super sibuk, pergi jam enam pagi pulang jam enam malam bahkan lewat. Anak jurusan IPA di salah satu SMA Negeri favorit dengan sistem pendidikannya yang fullday. Jarang berkomunikasi dengan keluarga. Kegiatannya hanya berkisar sekolah, pulang, kerjakan tugas sekolah, tidur. Mandiri untuk PRnya sendiri.


Mila hendak memejamkan matanya, namun azan magrib terdengar sehingga ia bangkit untuk melaksanakan salat berjamah bersama seluruh penghuni rumah yang perempuan di ruang tengah yang berfungsi sebagai musola keluarga di waktu salat.

Setelah wudlu bergiliran, Mila mengambil mukenanya yang berwarna biru dengan motif bunga-bunga kecil.

"Mila imam ya," kata nenek Asih sambil mengibaskan sejadahnya mundur ke belakang, biasanya nenek Asih yang menjadi imam salat.

"Iya, nek"

Saat Mila hendak mengucap takbir mengawali salat, terdengar rusuh suara Salsabila. Salsabila, adik kelima Mila, siswi kelas lima SD di sekolah yang berbeda dengan Humaira, sekolah keduanya berhadapan namun terpisah jalan raya, nama panggilannya Salsa. Anaknya sedikit usil tapi cerdas. "Geser dek," seru Salsa pada Humaira.

"Ih.. apasih sempit, disana tuh. Mama ih ka Salsa nih," seru Humaira merengek.

"Berisik banget kalian, mau salat ini. Pindah-pindah, kalian jangan deketan gitu," Mila menengahi perdebatan, agak kesal.

Bu Nisa menarik Salsa ke sebelah kirinya. Berjejer rapi satu shaf. Salsa, bu Nisa, Humaira, dan nenek Asih. Salat pun segera dilaksanakan dengan Mila sebagai imam, Mila membaca surat Al-Insyiroh di rakaat pertama, surat favoritnya, baginya surat ini memiliki makna yang amat dalam.

Selesai salat, semuanya saling menyalami terutama anak-anak pada bu Nisa dan nenek Asih. Humaira dan Salsa menyalami dengan dua maksud sekaligus, memohon maaf dan pamit. Ya, pamit untuk pergi mengaji di masjid dekat rumah, jaraknya hanya sekitar 20 meter.

"Berangkat, Mah, Nek" kata Humaira.

"Iya," jawab bu Nisa.

"Ka, berangkat ya. Infaknya mana?" seru Salsa saat menyalami Mila sambil menengadahkan tangan.

Mila segera merogoh sakunya, mengeluarkan dua keping koin seribu rupiah, membagi kepada keduanya. "Kebiasaan, infak itu harusnya uang sendiri Dek, sisihin dari uang jajan. Biar dapet pahala."

"Jadi gak ikhlas nih?" seru Salsa mengusil.

"Ya, bukan gitu ..., kalian perlu belajar aja biar gak boros, gak banyak jajan," jawab Mila.

"Iya-iya nanti," seru Salsa dan Humaira, "Assalamu'alaikum..." tutupnya berbarengan.

"Wa'alaikumsalam.." Kemudian Mila, bu Nisa, dan nenek Asih mengaji bersama, surat Yasin.

Komentar

Postingan Populer